Di Antara Tirai
Aku berpikir, jika memang
harus pindah sekolah, lebih baik aku menjadi diriku yang baru.
Tapi hal itu berakhir
dengan kegagalan besar, dan aku menyadari sebenarnya tidak perlu melakukannya.
Meski aku melakukan
kesalahan besar, entah kenapa aku merasa cukup lega.
Dengan perasaan seperti
itu, aku kembali ke rumah.
“Aku pulang.”
“Selamat datang. Kudengar
kamu tidak mau makan malam, tidak apa? Mau kubuatkan sesuatu?”
Sambil melepas sepatu, aku
menjawab ibu yang memperlihatkan kepala dari dapur.
Ah, keluarga Asahi sedang
mengadakan ‘minggu penguatan bahasa standar’ untuk memperbaiki penggunaan
dialek.
“Tidak usah, aku sudah
makan di perkumpulan tadi. Oh iya, ini dari Aikage-san.”
“Aikage-san?
.....Jangan-jangan, maksudmu Manami-chan, ibu Seiji?”
Ibu langsung mengenali
Seiji hanya dari menyebut nama keluarganya. Memang sepertinya para ibu lebih
ingat teman-teman anaknya dibanding anaknya sendiri.
“Iya, aku bertemu Seiji di
rumahnya bersama Chii-chan dan Shou.”
“Wah bagus dong! Baguslah
kamu masih ingat.”
“Ya.”
Aku mengangguk pada ibu
yang lupa akan ‘minggu penguatan’ dan bersemangat.
“Juga, Seiji yang dulu
menelepon ambulans untukku. Ah iya, Manami-san bilang nanti akan menelepon.”
“Wah kebetulan banget.
Harus berterima kasih nanti. Lebih baik kita telepon aja dulu.”
Ibu tampak terkejut dengan
kebetulan itu dan meraih ponselnya.
Sudah menyampaikan yang
perlu disampaikan, aku melempar barang-barangku di kamar lalu membersihkan
riasan di wastafel.
Karena tidak terlalu
mahir, aku hanya merias seminimal mungkin, jadi mudah dibersihkan.
“Iya, karena suamiku
dimutasi kerja. Dia tidak bisa apa-apa kalau sendirian. Nah Manami-chan ini—“
Di tengah jalan menuju
kamar, aku mendengar suara ibu sepertinya sedang menelepon Manami-san.
“Eh? Bohong, maafkan
aku—“
Nada suara ibu sepertinya
berubah, tapi tidak baik menguping jadi aku langsung masuk kamar saja.
Lalu aku berganti dari
seragam ke pakaian olahraga.
“Aku mau jalan-jalan
dulu.”
Setelah meneriakkan itu
pada ibu yang sedang menelepon, aku keluar dari apartemen dan mengikat
rambutku.
Jalan kaki adalah
rutinitas dan hobi yang kulakukan bahkan sebelum pindah ke Tokiomi.
Karena baru saja keluar
rumah sakit, untuk saat ini aku hanya bisa berjalan-jalan saja.
Setelah pulang sebelum
malam benar-benar larut, ibu sudah selesai menelepon di ruang keluarga.
“Yuno. Gimana kesan
Seiji-kun tadi?”
“Eh?”
Saat aku mengambil minuman
isotonik dari kulkas, ibu tiba-tiba menyebut nama Seiji.
Bukan nada suara yang
penasaran dengan pergaulan anaknya, dan dia menyebut Seiji bukan Chiaki atau
Kakeru.
“Seiji? Ya, seperti biasa
dia masih serius tapi...”
“Begitu, syukurlah kalau
tidak ada masalah.”
“Memangnya Seiji
kenapa?”
Tidak mengerti kenapa ibu
mengkhawatirkan Seiji, aku bertanya balik.
Ibu membuat ekspresi ‘kamu
tidak tahu ya’ lalu dengan nada agak sulit berkata:
“Manami-chan dan Seiji-kun
katanya akan pindah bulan depan."
Aku terdiam cukup lama,
hingga ibu memanggil dengan nada khawatir.
Sepuluh menit setelah itu,
aku baru menelepon ponsel Seiji.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.